Sabtu, 10 Januari 2009

Standar Telekomunikasi 3G

DALAM menghadapi proses audit lisensi frekuensi 3G (generasi ketiga telekomunikasi bergerak) yang akan dilakukan pemerintah, penting untuk kita mencoba mengerti dulu apakah sebenarnya obyek yang akan diaudit. Dalam proses audit yang baik, di langkah awal kita akan berusaha mengerti dulu obyek audit kita sebelum scope audit dibuat dan proses audit dimulai.
NAH sekarang, sebelum kita tersesat dalam melakukan proses audit dan sampai kepada audit finding yang sama sekali tidak membantu kemajuan perkembangan telekomunikasi di Tanah Air, mari kita coba lihat apakah sebenarnya calon obyek audit yang dinamakan 3G ini?
Sebenarnya penggunaan akronim 3G di dalam perkembangan dunia telekomunikasi diawali dari dimulainya pemikiran yang mencoba membuat standar konvergensi dari telekomunikasi seluler voice (suara) dan data pada sekitar tahun 1996-1997. Mereka yang memikirkan hal ini, dalam perkembangannya, menyebut konsep konvergensi ini sebagai generasi ketiga (3G) dari perkembangan teknologi telekomunikasi seluler.
Di mana generasi keduanya (2G) ditandai dengan berkembangnya teknologi seluler digital (dengan leader-nya adalah teknologi GSM) dan generasi pertamanya (1G) ditandai dengan kelahiran teknologi seluler analog (yang terkenal dengan AMPS-nya). Jadi, 3G adalah generasi terkini dari perkembangan teknologi seluler.
TEKNOLOGI-teknologi seluler yang termasuk generasi ketiga ini sejarahnya berkembang sendiri-sendiri sebelum akhirnya menyatu menjadi dua standar utama yang mengacu kepada IMT-2000 yang merupakan ketetapan ITU-T (Badan Uni Telekomunikasi Internasional yang mengurusi standardisasi telekomunikasi).
Dua standar teknologi ini diusung oleh dua partnership organization yang beranggotakan badan-badan standardisasi regional, yaitu (1) The Third Generation Partnership Project (3GPP) dan (2) The Third Generation Partnership Project 2 (3GPP2).
3GPP terbentuk akhir tahun 1998 dengan anggota-anggotanya adalah badan standardisasi dari Jepang (ARIB dan TTC), China (CCSA), Eropa (ETSI), Amerika Serikat (ATIS), dan Korea (TTA). Partnership ini dibentuk dengan tujuan membentuk standar spesifikasi teknis untuk evolusi teknologi GSM (2G) ke 3G (yang kita kenal sebagai teknologi UMTS). Dari 3GPP inilah keluar berbagai teknologi "antara" yang secara jujur membuat kita pusing dengan penamaan 3G, seperti teknologi GPRS dan EDGE (enhanced data rates for GSM evolution).
Pada masa sekarang ini keluarlah berbagai penamaan seperti 2,5G dan 2,75G yang sebenarnya adalah penamaan untuk GPRS (2,5G) dan EDGE (2,75G). Di Indonesia sementara ini pengikut perkembangan teknologi dari faham/aliran 3GPP adalah semua existing GSM operator seperti XL, Indosat, dan Telkomsel.
Adapun 3GPP2 terbentuk sebagai saudara muda dari 3GPP beranggotakan badan-badan standardisasi dari Jepang (ARIB dan TTC), China (CCSA), Amerika Serikat (TIA), dan Korea (TTA). Kerja sama ini lahir karena kekurangpuasan atas kecepatan perkembangan dari 3GPP. Perkembangan yang lumayan pelan di standardisasi 3GPP partnership bisa dimaklumi karena tugas berat dari partnership ini untuk selalu menemukan atau membuat jembatan penghubung dari GSM sekarang ini ke standar 3G yang dibuat.
Sedangkan 3GPP2 secara murni mengembangkan standar teknologinya tanpa melihat apa yang sekarang sudah ada dan dimiliki oleh GSM teknologi. 3GPP2 partnership mengembangkan standar mereka yang sekarang kita kenal sebagai standar CDMA 2000, yang di Indonesia dianut/diikuti oleh para penyelenggara jasa layanan telekomunikasi (baik yang mengaku mobile cellular maupun yang mengaku fixed wireless telephone) seperti Esia, StarOne, Mobile-8, dan TelkomFlexi.
Walaupun di luar Indonesia 3GPP2 tidak banyak membuat kepusingan, ternyata di Indonesia perkembangan CDMA 2000 ini lumayan cukup membuat pusing orang yang ingin mencoba mengerti. Pada saat sekarang ini teknologi berbasis CDMA 2000 terlihat paling tidak ada di tiga tempat. Pertama sebagai teknologi fixed wireless telephone, kedua sebagai teknologi belum 3G (lihat Mobile-8), dan ketiga sebagai teknologi 3G yang mungkin akan diadopsi oleh CAC, WIN, maupun Natrindo sebagai pemegang lisensi dan frekuensi 3G di Indonesia.
CDMA 2000, terutama CDMA 2000 1xEVDO, tidak kalah canggih dibandingkan dengan EDGE dari GSM. Dan kembali lagi kita harus jujur, susah bagi kita membedakan antara operator bukan 3G dan operator 3G kalau teknologi yang digunakan sudah dari dua jenis teknologi ini. Fakta yang lebih menarik lagi ternyata operator 3G terbesar di Jepang (Au dari KDDI) ternyata menggunakan teknologi CDMA 2000 1xEVDO. Sedangkan Vodafone Jepang yang jelas-jelas menggunakan teknologi 3G, WCDMA, hanya bisa bermain sebagai pemain paling bontot di bawah FOMA, layanan 3G dari NTT DoCoMo (berbasiskan turunan dari WCDMA) yang berada di posisi kedua.
TERLIHAT di sini bahwa scope audit yang ingin dilakukan pemerintah mencoba mengacu terhadap teknologinya, ini merupakan suatu tantangan yang berat. It is challenging, untuk pemerintah bisa meletakkan garis batas yang jelas antara kelompok mana yang harus diaudit dan kelompok mana yang tidak termasuk dalam proses audit. Salah-salah dalam menentukan scope audit bisa-bisa hal ini akan melemahkan semangat industri telekomunikasi seluler di Indonesia untuk berkembang.
Alternatif lain yang bisa menjanjikan untuk kita mendapatkan scope audit yang bermanfaat bagi perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia adalah dengan melihat 3G dari sisi alokasi frekuensinya. Walaupun ini tidak mudah seperti yang terlihat di figur 1, dari sini bisa kita mendekatkan diri ke core permasalahan yang sekarang sedang hangat di Indonesia, yaitu mengenai Cyber Access Communication (CAC), Lippo Telcom (Natrindo), dan keterbatasan frekuensi.
Sekarang coba kita lihat figur 1, di baris pertama terlihat pembagian pita frekuensi 3G seperti yang telah dibuat oleh ITU-T. Frekuensi untuk IMT-2000 adalah area yang secara gampangnya kita sebut sebagai area 3G untuk telekomunikasi seluler dan area MSS adalah area 3G untuk mobile satellite system.
Harap diingat, ITU-T berusaha untuk membuat standar, tetapi pelaksanaan dari masing-masing negara anggotanya tergantung dari kesepakatan badan standar nasional atau regional mereka masing-masing. Dan bisa terlihat dari figur 1 ini, Amerika Serikat mengalokasikan pita frekuensi 3G mereka untuk PCS dan MSS yang terlihat sangat berbeda dari rekan-rekannya di Eropa dan Asia Pasifik.
Telekomunikasi di Indonesia secara klasik menganut faham Eropa sehingga bisa terlihat peta pembagian frekuensi seluler kita di Tanah Air mendekati general practice yang berlaku di Eropa dan Asia Pasifik (lihat di figur 1 di baris tengah).
Kalau pendekatan pembagian pita frekuensi seluler dari Eropa yang kita ikuti, maka peta industri telekomunikasi kita menjadi lebih jelas: Telkomsel, Indosat, XL, dan Mobile-8 ada di pita frekuensi GSM (generasi 2G, 2,5G, dan 2,75G). CAC, Lippo Telcom (Natrindo), TelkomFlexi, dan WIN ada di pita frekuensi UMTS (3G). TDD dan DECT ada di luar pita frekuensi UMTS dan secara gampang bisa dianggap bukan 3G.
Sekarang secara kurang lebihnya kita sudah tambah mengerti obyek auditnya, tinggal keahlian dari auditor tim yang akan dibentuk nanti yang akan diuji untuk bisa menentukan scope audit yang benar-benar bisa memberi nilai tambah terhadap perkembangan telekomunikasi di Indonesia dan bukannya malah membuat tersesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar